0

Drs. H. Syafruddin Amir, MM
(Direktur Yaspi Syamsul 'Ulum &
Pembantu Ketua I STAI Syamsul Ulum Sukabumi)
Puasa bermakna menahan (imsak), yaitu menahan dari segala yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Seorang Muslim dengan landasan imannya ia mampu melakukan itu tanpa seorangpun yang mengawasinya. Yang menjadi pengawasnya (controller), hanyalah dirinya sendiri dan Allah SWT. Mungkin ini sebagai salah satu latar belakang ibadah puasa yang berbeda dari ibadah-ibadah yang lain. Perbedaannya, jika ibadah lain langsung diberikan pahala dan pahalanya tersebut sudah ditetapkan oleh Allah SWT, sementara pahala ibadah puasa tidak ditentukan, dalam arti, bahwa Allah SWT akan memberikan langsung pahalanya kepada orang yang berpuasa di hari akhirat kelak.

Ibadah puasa mengandung banyak hikmah, karena puasa menjadi kajian yang tak pernah henti dari berbagai ilmuwan yang masing-masing melihatnya dari sudut pandang disiplin ilmu mereka. Para ahli kedokteran memandangnya dari kaca mata kesehatan, ahli psikologi melihatnya dari sisi psikologi (kejiwaan) manusia, ahli sosiologi mengkajinya dari sudut pandang sosial kemasyarakatan.

Kajian tentang puasa ini berkembang maju dan pesat, hingga pemikir-pemikir Barat pun tidak henti-hentinya mengkaji puasa dari sisi perekonomian dan tatanan sosial masyarakat Muslim.

Sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya kalian memperoleh rezeki dan pertolongan disebabkan orang-orang yang lemah di antara kalian”. (H.R Abu Dawud).

“Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim yang lain. Ia tidak boleh menganiaya dan membiarkannya teraniaya. Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya sesama Muslim, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya. Barangsiapa yang meringankan beban penderitaan orang Muslim di dunia, maka Allah akan meringankan beban penderitaannya nanti di akhirat”. (H.R Bukhari dan Muslim).

Dengan berpuasa di bulan suci Ramadan, seorang Muslim dapat merasakan betapa lapar dan dahaga bahwa itu sangat melelahkan, membuat fisik menjadi lemah, konsentrasi buyar dan kelesuan menjadi penderitaannya. Jika seorang Muslim selalu melatih dengan renungan dan dihayati dengan sentuhan hati, maka ia akan mampu melatih dirinya agar memiliki sense of belonging (rasa memiliki hati sesama kaum muslim), sehingga menimbulkan rasa kepekaan dan kepedulian terhadap kaum du’afa (kaum miskin). Apalagi, banyak kaum du’afa yang tidak memiliki tempat tinggal, kekurangan sandang dan pangan.

Bagaimana kita kaum muslim untuk meringankan beban kaum du’afa itu ? Sesungguhnya orang-orang yang diberi kelapangan rezeki-Nya harus mensyukuri jika mereka membantu kaum du’afa, karena kaum du’afa itulah yang menolong mereka dari siksa api neraka (data Badan Pusat Statistik, orang-orang miskin dan tidak beruntung hidupnya di tanah air masih cukup tinggi sekitar 40 juta orang), menolong meringankan beban mereka di dunia merupakan moment yang penting di bulan suci Ramadhan ini, sehingga dapat mengangkat harkat dan derajat kaum miskin menjadi layak. Siapa lagi akan menolong mereka, kecuali uluran tangannya sesama kaum muslim. Semoga !.(*)

Posting Komentar

 
Top